Oleh: Muzdalifah Muhammadun (STAIN Parepare)
285746-fiqh-dan-permasalahan-pe…
Tulisan ini membahas problematika perempuan dalam perspektif fiqh dan tantangan kontemporer yang dihadapinya. Permasalahan perempuan selalu aktual dan kontroversial, terutama karena terjadi pergeseran peran perempuan yang tidak lagi terbatas pada ranah domestik, tetapi juga aktif di ranah publik. Pendidikan dan modernisasi telah membuka peluang bagi perempuan untuk berperan lebih luas, namun secara ideologis masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dengan lingkup peran seputar “sumur, dapur, dan kasur”.
Dalam literatur fiqh klasik, posisi perempuan banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki Arab. Perempuan sering diposisikan secara instrumental, misalnya hanya sebagai istri yang patuh dan pengurus rumah tangga. Banyak ulama fiqh menafsirkan peran perempuan sebagai subordinat dari laki-laki, dengan legitimasi dari ayat maupun hadis. Misalnya, hadis yang menekankan ketaatan istri kepada suami, atau ayat Al-Qur’an yang menyerukan agar perempuan tetap di rumah (QS. 33:33). Pandangan ini membuat perempuan jarang diposisikan sebagai pengambil keputusan, melainkan sekadar pelaksana kewajiban domestik.
Namun, terdapat pula ulama yang menolak pandangan kaku tersebut. Al-Qurthubi menegaskan bahwa perempuan pada masa Nabi juga bekerja, bahkan istri-istri Rasulullah SAW pun memiliki peran produktif. Umar bin Khattab pun pernah menegaskan bahwa pekerjaan rumah tangga sejatinya bukan kewajiban mutlak perempuan. Al-Nawawi bahkan mengklasifikasikan pekerjaan rumah sebagai sedekah, bukan kewajiban syar’i. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan ulama mengenai posisi perempuan.
Dalam hal warisan dan persaksian, perempuan sering diposisikan berbeda dari laki-laki. Contoh yang sering dikutip adalah bagian waris anak laki-laki yang dua kali lipat dibanding anak perempuan (QS. An-Nisa’:11). Namun, konteksnya adalah tanggung jawab laki-laki sebagai penanggung nafkah. Begitu pula dalam masalah persaksian (QS. Al-Baqarah:282), dua perempuan setara dengan satu laki-laki hanya berlaku pada urusan ekonomi, karena pada masa itu akses perempuan terhadap dunia bisnis sangat terbatas. Sayangnya, fiqh klasik cenderung melakukan generalisasi sehingga kualitas persaksian perempuan dianggap lebih rendah dalam segala bidang, termasuk dalam perkara di luar ekonomi.
Meski demikian, Islam juga memberikan penghormatan tinggi kepada perempuan, terutama dalam perannya sebagai ibu. Hadis Nabi menegaskan bahwa seorang ibu berhak mendapat penghormatan tiga kali lebih besar dibanding ayah, karena penderitaan fisik dan psikis yang dialami dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui. Bahkan perempuan yang wafat saat melahirkan digolongkan sebagai syahidah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek tertentu perempuan memiliki kedudukan mulia.
Dalam konteks kontemporer, peran perempuan semakin kompleks. Modernisasi membuka kesempatan pendidikan dan karier, tetapi pada saat yang sama muncul beban “peran ganda” yang dilematis. Perempuan dituntut untuk sukses di ranah publik sekaligus tetap memikul tanggung jawab domestik. Hal ini seringkali melahirkan krisis psikologis, bahkan disharmoni dalam rumah tangga. Ideologi gender tradisional yang menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik makin diperkuat oleh tafsir fiqh yang bias patriarki, sehingga perempuan mengalami beban struktural yang tidak seimbang.
Selain itu, perempuan pekerja di sektor informal atau kasual sering menghadapi eksploitasi, kekerasan, serta upah rendah. Mereka diposisikan sebagai “tenaga cadangan” dengan nilai kerja yang lebih rendah dari laki-laki. Meski berperan besar dalam menopang ekonomi keluarga, pekerjaan perempuan masih dianggap “tambahan” dan tidak diakui secara penuh. Situasi ini menunjukkan adanya ketidakadilan struktural yang bersumber dari budaya patriarki dan diperkuat oleh tafsir keagamaan.
Karena itu, diperlukan reaktualisasi atau rekonstruksi fiqh agar lebih sesuai dengan semangat keadilan Islam. Beberapa pemikir seperti Al-Maraghi menekankan bahwa hukum Islam harus disesuaikan dengan konteks zamannya, tanpa meninggalkan prinsip keadilan. Konsep kesalingan (partnership) antara laki-laki dan perempuan perlu ditonjolkan agar relasi gender tidak lagi bersifat subordinatif. Al-Qur’an (QS. Ali Imran:195) dengan tegas menyatakan bahwa amal saleh laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama, sehingga peluang aktualisasi diri juga seharusnya setara.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan dalam fiqh klasik seringkali dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengekang ruang gerak perempuan. Namun, dalam banyak hal, Islam sebenarnya memberikan penghormatan dan hak-hak yang adil bagi perempuan, baik dalam peran domestik maupun publik. Tantangan kontemporer menuntut adanya pembaruan dalam memahami fiqh perempuan, sehingga prinsip keadilan yang menjadi ruh syariat tetap terjaga dan mampu menjawab persoalan modern. Dengan begitu, perempuan dapat tampil sebagai sosok yang dinamis, mandiri, dan berperan penuh dalam kehidupan masyarakat.
✍️ Resume ini disusun berdasarkan artikel karya Muzdalifah Muhammadun, “Fiqh dan Permasalahan Perempuan Kontemporer”, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 8 No. 1, Januari-Juni 2015.